Taman Anjuk Ladang juga memiliki koleksi hewan dan para pengunjung dapat mengambil gambar dengan mereka, seperti; rusa, monyet, burung, dll. Taman Anjuk Ladang sering direkomendasikan sebagai taman rekreasi keluarga di Nganjuk dan sering digunakan sebagai kegiatan berkemah. Taman ini juga memiliki panggung untuk beberapa acara khusus, seperti; musik dan teater.
Senin, 07 Januari 2013
Taman Anjuk ladang
Taman Anjuk Ladang juga memiliki koleksi hewan dan para pengunjung dapat mengambil gambar dengan mereka, seperti; rusa, monyet, burung, dll. Taman Anjuk Ladang sering direkomendasikan sebagai taman rekreasi keluarga di Nganjuk dan sering digunakan sebagai kegiatan berkemah. Taman ini juga memiliki panggung untuk beberapa acara khusus, seperti; musik dan teater.
Candi Ngetos
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan
arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu.
Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah
sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa
didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil
(sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom
memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh
tembok yang berbentuk bulat cincin.
Candi yang memiliki ukuran dengan panjang 9,1 m, dan tinggi 10 m,
dibangun pada abad 15 (zaman Majapahit) atas perintah Raja Hayam Wuruk
kepada pamannya Raja Ngatas Angin atau Raden Ngabei Siloparwoto dengan
patihnya yang bernama Raden Bagus Condrogeni.
Candi ini dibangun untuk dipergunakan sebagai tempat penyimpanan abu
jenazah Hayam Wuruk atau untuk pemakaman dirinya. Hayam wuruk ingin
dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit
yang menghadap gunung Wilis yang seakan-akan disamakan gunung Mahameru.
*** [150812]
Museum Nasional
Awal berdirinya Museum Nasional diawali dengan berdirinya himpunan yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen,
yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 24 April
1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the
Age of Enlightment), di mana orang mulai mengembangkan
pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Tahun 1752 di Haarlem,
Belanda berdiri de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen
(perkumpulan ilmiah Belanda) yang mendorong orang-orang Belanda di
Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis yaitu Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG).
Museum Nasional yang terletak di Jalan Merdeka Barat No. 12 Jakarta Pusat, sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan ‘Gedung Gajah’ atau ‘Museum Gajah’ karena di halaman depan museum terdapat patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang berkunjung ke museum tahun 1871.
Koleksi Museum Nasional
Museum Nasional memiliki lebih dari 140.000 koleksi yang terdiri dari
koleksi prasejarah, arkeologi, keramik asing, numismatic/heraldik,
kolonial, etnografi dan geografi. Sebagian besar koleksi dikumpulkan
pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang diperoleh melalui ekspedisi
militer, ekspedisi ilmiah, hadiah, zending dan pembelian.
Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.
Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba
27, Jakarta Pusat didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk
naskah-naskah manuskrip kuno. Naskah-naskah tersebut dan koleksi
perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional.
Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak
dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan
terbesar di Asia Tenggara.
Ruang Pameran
Ruang pameran di Museum Nasional terdiri dari dua bagian yaitu ruang
pameran di Gedung Gajah yang masih mempertahankan sistem penataan pada
masa Kolonial, sementara di Gedung Arca yang merupakan gedung baru
dengan sistem penataan yang tematik untuk memperlihatkan kehidupan
masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Ruang pameran di Gedung Arca terdiri dari empat lantai. Lantai 1
dipamerkan manusia dan lingkungan, lantai 2 dipamerkan ilmu pengetahuan
dan ekonomi, lantai 3 dipamerkan organisasi sosial dan pola pemukiman,
dan lantai 4 dipamerkan koleksi emas serta keramik asing. ***
sumber: http://kekunaan.blogspot.com/2012/07/museum-nasional.html
sumber: http://kekunaan.blogspot.com/2012/07/museum-nasional.html
Museum Anjuk Ladang
Museum Anjuk Ladang berada di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk atau
bersebelahan dengan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari terminal
Nganjuk ± 100 m ke arah timur.
Bangunan museum ini dibangun di atas lahan seluas 2.633,44 m² dengan
satu lantai. Luas keseluruhan bangunan adalah 4 tempat 351,05 m2 untuk
publik dan 2 lokasi = 63 m2 untuk non publik. Bangunan ini didirikan
sejak tahun 1995 namun baru difungsikan sebagai museum sejak 10 April
1996. Sejak awal berdiri memang difungsikan sebagai museum dengan status
kepemilikan tanah milik pemerintah daerah. Museum ini terbagi menjadi
beberapa bagian bangunan. Bagian depan berbentuk joglo tempat menyimpan
prasasti Anjuk Ladang dan kereta kencana, bangunan induk sebagai tempat
penyimpanan guci, uang logam kuno, wayang kulit, gerabah, keramik,
genta, dan lain-lain. Sedangkan, bangunan belakang kecil dan digunakan
untuk sekretariat museum, bangsal keamanan dan kamar mandi / toilet. ***
Rabu, 02 Januari 2013
Tari mung dhe
Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu
Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung
Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad
ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan
Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu
mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di
Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling.
Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.
Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang dengan pesat.
Tari mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.
Mung Mung Dhe
Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada, masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik pengirin lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer,timplung, kendang, dan stling.
Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring. Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12 pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring.
Ketika mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama, para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.
Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. Gerakan berikutnya tampak lebih garang, seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).
Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis. Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan. Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak boleh cerai-berai.
Penthul & Tembem
Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.
Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit. Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak mengalami perubahan.
Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi, samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih), kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.
Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai sampur merah dan putih.
Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal, busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam.
Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna hitam.
Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher. Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.
Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.
Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya. Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.
Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.
Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling.
Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.
Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang dengan pesat.
Tari mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.
Mung Mung Dhe
Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada, masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik pengirin lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer,timplung, kendang, dan stling.
Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring. Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12 pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring.
Ketika mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama, para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.
Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. Gerakan berikutnya tampak lebih garang, seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).
Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis. Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan. Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak boleh cerai-berai.
Penthul & Tembem
Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.
Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit. Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak mengalami perubahan.
Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi, samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih), kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.
Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai sampur merah dan putih.
Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal, busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam.
Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna hitam.
Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher. Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.
Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.
Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya. Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.
Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.
Langganan:
Postingan (Atom)