Nganjuk dahulunya bernama Anjuk Ladang yang dalam
bahasa Jawa Kuna berarti Tanah Kemenangan. Dibangun pada tahun 859 Caka atau 937 Masehi.
Berdasarkan peta
Jawa Tengah dan
Jawa Timur
pada permulaan tahun 1811 yang terdapat dalam buku tulisan Peter Carey
yang berjudul : ”Orang Jawa dan masyarakat Cina (1755-1825)”, penerbit
Pustaka Azet, Jakarta, 1986; diperoleh gambaran yang agak jelas tentang
daerah
Nganjuk. Apabila dicermati peta tersebut ternyata daerah
Nganjuk terbagi dalam 4 daerah yaitu
Berbek,
Godean,
Nganjuk dan
Kertosono merupakan daerah yang dikuasai
Belanda dan kasultanan
Yogyakarta, sedangkan daerah
Nganjuk merupakan mancanegara kasunanan
Surakarta. Sejak adanya
Perjanjian Sepreh 1830, atau tepatnya tanggal 4 juli 1830, maka semua kabupaten di
Nganjuk (
Berbek,
Kertosono dan
Nganjuk ) tunduk dibawah kekuasaan dan pengawasan Nederlandsch Gouverment. Alur sejarah
Kabupaten Nganjuk adalah berangkat dari keberadaan
kabupaten Berbek dibawah kepemimpinan
Raden Toemenggoeng Sosrokoesoemo 1. Dimana tahun 1880 adalah tahun suatu kejadian yang diperingati yaitu mulainya kedudukan ibukota
Kabupaten Berbek pindah ke
Kabupaten Nganjuk.
Dalam Statsblad van Nederlansch Indie No.107, dikeluarkan tanggal 4
Juni 1885, memuat SK Gubernur Jendral dari Nederlandsch Indie tanggal
30 Mei 1885 No 4/C tentang batas-batas Ibukota
Toeloeng Ahoeng,
Trenggalek,
Ngandjoek dan
Kertosono,
antara lain disebutkan: III tot hoafdplaats Ngandjoek, afdeling Berbek,
de navalgende Wijken en kampongs : de Chineeshe Wijk de kampong
Mangoendikaran de kampong Pajaman de kampong Kaoeman. Dengan
ditetapkannya
Kota Nganjuk yang meliputi kampung dan desa tersebut di atas menjadi ibukota
Kabupaten Nganjuk, maka secara resmi pusat pemerintahan
Kabupaten Berbek berkedudukan di
Nganjuk.