welcome to blog http://marvelsip.blogspot.com/
welcome to blog

Rabu, 25 September 2013

Prosesi larung sesaji siraman di sedudo

Pemkab Nganjuk melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Nganjuk menggelar siraman di objek wisata air terjun Sedudo beberapa waktu lalu. Dalam acara tersebut, ratusan pengunjun...g berjubel ingin melihat langsung prosesi siraman. "Ini memang menjadi agenda tahunan bagi Pemkab Nganjuk. Makanya harus terus dipertahankan agar daya tarik air terjun Sedudo bisa tetap terjaga," kata Abdul Wakid, Kabag Humas Pemkab Nganjuk.

Prosesi siraman diawali dengan tabur bunga bunga di tengah-tengah objek wisata air terjun sedudo yang dilakukan Wakil Bupati Nganjuk KH Abdul Wachid Badrus (Gus Wachid). Usai menabur bunga, Gus Wahid pun melarung sesaji ke tengah-tengah area air terjun sedudo. "Ini sebagai pertanda kalau Pemkab Nganjuk selalu memperhatikan air terjun sedudo sebagai tempat wisata andalan di Kabupaten Nganjuk," jelas Gus Wachid.

Gus Wachid mengungkapkan, air terjun sedudo memang menjadi objek wisata paling ternama di Kabupaten Nganjuk. "Nama sedudo telah dikenal hingga luar daerah. Jadi kalau ada prosesi siraman, kami rasa itu bisa menambah daya tarik pengunjung," katanya. Bukan hanya mengikuti prosesi siraman, Gus Wachid pun ikut mandi di bawah air terjun sedudo bersama masyarakat. "Katanya kalau mandi bisa membuat awet muda," ucapnya. Karena itulah, kata Gus Wachid, dirinya mengajak masyarakat untuk mandi bersama di
air terjun sedudo.

Sementara, ritual Siraman Sedudo kali ini berlangsung meriah dan sakral. Kemasan tari Bedhayan Amek Tirta semakin menambah kesakralan prosesi. Tari itu sendiri merupakan penggambaran rasa wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Tari ini dibawakan oleh lima penari cantik. Sedangkan di belakangnya siap sepuluh gadis berambut panjang siap dengan klentingnya dan lima perjaka yang siap mengambil air (amek tirta) dari gerojogan Sedudo. Para penari tersebut, menari sambil membawa klenthing, Sedang, penggarapan tari ditangani oleh para seniman muda, yaitu Kokok Wijanarko, S.Sn, bersama istrinya, Ratri Mulyandari.
Sebelum pertunjukan tari dimulai, seorang penunjuk jalan (cucuk lampah) telah memandu jalan menuju air terjun Sedudo. Di belakang berderet lima sesepuh membawa dupa dan sesaji disusul para putri domas, lima penari Bedhayan, dan paling belakang terdiri dari 10 gadis berambut panjang dan 5 perjaka tampan. Yang menambah suasana menjadi sakral adalah aroma harum yang keluar dari kepulan asap dupa. Ini pertanda prosesi benar-benar dimulai, saat spriritualist, Ki Suprapto HS, membacakan mantra-mantra sambil membakar dupa menghadap ke guyuran air terjun Sedudo. Selanjutnya diikuti ritual larung sesaji ke dalam air Sedudo oleh Bupati Nganjuk. Setelah usai, mereka bersama-sama kembali menuju persiapan pertunjukan tari Amek Tirta. Di akhir pertunjukan tari, Bupati Nganjuk menyerahkan klenthing ke sepuluh gadis berambut panjang sebagai pertanda proses ritual Amek Tirta dilaksanakan.
Semua harus turun di bawah guyuran air terjun sedudo, yang konon memiliki kekuatan magis dapat menjadikan orang yang mandi awet muda. Saat itu, para ritual yang menenteng 'klenthing' hanya sekadar mengisi air sedudo yang mengguyur. Kendati harus berbasah-basah, para gadis cantik bertubuh ideal tersebut harus rela demi mendapatkan 'tirta amerta.'
Juga menurut mitosnya, gadis dan perjaga yang mengambil 'tirta amerta' ini harus masih suci, untuk menggambarkan bahwa air yang diambil juga benar-benar masih suci. Untuk itu tidak sembrang gadis dapat mewakili dalam proses sakral ini. Bila mitos ini dilanggar, menurut kepercayaan warga setempat dapat mendatangkan 'sengkala' (bahaya-red).
Lazimnya, tirta amerta yang dipercaya memiliki kesucian ini, biasa digunakan untuk berbagai keperluan yang berkaitan dengan kegiatan ritual seperti jamasan pusaka, upacara ruwatan, wisuda waranggana, dan sebagainya. Usai upacara selesai dilanjutkan mandi bersama para pengunjung dan tamu undangan berebut masuk ke pemandian air terjun Sedudo.
Menurut sejarahnya, sebenarnya upacara siraman ini tidak ada. Kendati pun kepercayaan masyarakat tentang mandi air di Sedudo ini sudah turun-temurun – sejak nenek moyang kita. Baru sekitar tahun 1987, prosesi garapan tari dikemas sebagai kalender budaya dan berlangsung hingga sekarang.
Hal yang sama disampaikan Lies Nurhayati, Kepala Disparbuda Nganjuk, objek wisata Sedudo merupakan objek wisata handalan yang potensinya tidak kalah dari daerah lain. Untuk itu, lanjutnya, dia berharap kepada semua agar mendukung program pemerintah Nganjuk dalam bidang pariwisata. Selain itu, Lies Nurhayati juga berharap obyek wisata Air Terjun Sedudo bisa menarik pengunjung dan meningkatkan pendapatan asli daerah, sehingga Kabupaten Nganjuk akan mampu menjadi salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Timur hingga manca Negara. Untuk itu dia berpesan agar semua pihak, terutama yang berada di sekitar lokasi objek wisata bisa ikut menjaga dan melestarikan lingkungan.

Tari tayub Nganjuk

Di Kabupaten Nganjuk terletak sebuah padepokan kesenian tradisional yaitu padepokan kesenian tayub, yang lebih jelasnya berada di Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupaten Nganjuk.
Desa Ngrajek, Kecamatan Tanjunganom, Kabupa...ten Nganjuk, Jawa Timur merupakan daerah pedesaan yang masih asri. Di daerah tersebut para penduduknya masih memegang teguh adat istiadat setempat. Mereka masih sangat menghargai alam dan sangat mencintai kesenian. Jika kita memasuki desa tersebut kita akan merasakan hawa seni yang sangat kental. Para penduduk di desa tersebut sangatlah ramah tamah dengan orang lain. Berbeda dengan masyarakat perkotaan yang sering kali bersifat individualis, bahkan tidak jarang masyarakat perkotaan tidak mengenali siapa yang menjadi tetangganya.
Setiap harinya para warga di Desa Ngrajek beraktivitas seperti masyarakat biasanya, sehingga desa tersebut tidak terlihat sebagai pusat kesenian tayub di Kabupaten Nganjuk. Akan tetapi jika ada hari-hari besar atau ada warga yang memiliki hajat desa tersebut pasti diramaikan dengan kesenian tayub. Terlebih jika bulan jawa atau bulan syuro tiba, desa tersebut akan sangat ramai oleh para pendatang dari desa lain bahkan dari kota lain dikarenakan pada bulan tersebut bertepatan dengan acara wisuda para waranggono yang sudah menjadi agenda tahunan di Kabupaten Nganjuk.
Tari Tayub atau acara Tayuban. merupakan salah satu kesenian Jawa yang mengandung unsur keindahan dan keserasian gerak. Tarian ini mirip dengan tari Jaipong dari Jawa Barat. Unsur keindahan diiikuti dengan kemampuan penari dalam melakonkan tari yang dibawakan. Tari tayub mirip dengan tari Gambyong yang lebih populer dari Jawa Tengah.
Tarian ini biasa digelar pada acara pernikahan, khitan serta acara kebesaran misalnya hari kemerdekaan Republik Indonesia. Perayaan kemenangan dalam pemilihan kepala desa, serta acara bersih desa. Anggota yang ikut dalam kesenian ini terdiri dari sinden, penata gamelan serta penari khususnya wanita. Penari tari tayub bisa dilakukan sendiri atau bersama, biasanya penyelenggara acara (pria). Pelaksanaan acara dilaksanakan pada tengah malam antara jam 9.00-03.00 pagi. Penari tarian tayub lebih dikenal dengan inisiasi ledhek. tari tayub merupakan tarian pergaulan yang disajikan untuk menjalin hubungan sosial masyarakat. beberapa tokoh agama islam menganggap tari tayub melanggar etika agama , Dikarenakan tarian ini sering dibarengi dengan minum minuman keras. pada saat menarikan tari tayub sang penari wanita yang disebut ledek mengajak penari pria dengan cara mengalungkan selendang yang disebut dengan sampur kepada pria yang diajak menari tersebut. Sering terjadi persaingaan antara penari pria yang satu dengan penari pria lainnya, persaingan ini ditunjukkan dengan cara memberi uang kepada Tledek (istilah penari tayub wanita). Persaingan ini sering menimbulkan perselisihan antara penari pria.
Kesenian tayub yang pada zaman dahulu sempat masyhur diseluruh wilayah di Provinsi Jawa Timur, kini tak lagi dikenal oleh banyak kalangan masyarakat. Kesenian yang mengakar berabad-abad di Nganjuk itu harus bersaing keras dengan perkembangan era pertunjukan. Acara hajatan yang dulu selalu di meriahkan dengan tarian para waranggono kini telah kalah dengan panggung-panggung dangdut ataupun layar tancap yang menampilkan hiburan yang lebih menarik.
Mulai redupnya kesenian tayub banyak disebabkan karena, citranya yang dikenal identik dengan keburukan akibat para penikmat seni tayub yang menikmatinya dengan cara yang kurang sopan disertai dengan minum minuman keras. Untuk memperbaiki citra tayub, didirikan organisasi yang dapat memayungi kesenian tayub di Nganjuk. Didalam organisasi tersebut, selain diberikan pelajaran beragam gerak tari, para waranggono diberi pembinaan untuk mengikis tindakan tercela dari para penikmat seni tayub yang biasanya menyertai setiap pertunjukan tayub. Sebenarnya banyak gadis di Kabupaten Nganjuk yang ingin ikut dalam kesenian tayub sebagai waranggono. Para gadis tersebut sangat tertarik dengan kesenian tayub, selain karena ingin melestarikan dan mengembalikan kejayaan seni tayub seperti dahulu, mereka juga sangat tertarik dengan hasil yang akan mereka peroleh kelak jika mereka telah manggung atau pentas. Dalam sekali pentas para waranggono bisa mendapatkan honor hingga ratusan ribu rupiah, itupun belum termasuk uang hasil saweran para tamu yang menikmati tarian dari para waranggono.
Akan tetapi sekarang ini banyak orang tua yang melarang anak gadisnya yang ingin menjadi waranggono. Para orang tua takut dikarenakan kesenian tayub banyak dikenal masyarakat sebagai kesenian yang jauh dari kebaikan. Sehingga para gadis mengurungkan niatnya untuk menjadi waeanggono dalam kesenian tayub. Sehinga berakibat mundurnya kesenian tayub karena semakin tahun jumlah waranggono semakin berkurang.
Kesenian atau kebudayaan dalam kehidupan masyarakat merupakan suatu unsur yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena dengan kebudayaan atau kesenian tersebut kehidupan manusia tidak terlihat monoton. Begitu juga dengan kabupaten Nganjuk yang dahulu sempat masyhur dengan kesenian tayubnya. Tetapi bagaimanakah pandangan banyak kalangan tentang kesenian tayub tersebut.
Para masyarakat umumnya memandang kesenian tayub dari sisi negatifnya. Dan bukan salah merekalah jika mereka memandang seni tayub seperti itu. Semua itu disebabkan karena, para tamu atau para penikmat seni tayub seringkali menikmatinya dengan mabuk-mabukan serta tidak jarang mereka melecehkan para waranggono yang sedang menari diatas panggung. Terlebih-lebih dalam pandangan kam muslim. Dalam kesenian tayub terdapat aksi saweran dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, saweran sebenarnya adalah pemberian uang kepada waranggono oleh seseorang setelah menari bersama. Pemberian atau saweran ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih kepada waranggono atas kesempatan untuk menari bersamanya. Nilai dan jumlah saweran tidak ditentukan, tergantung kemampuan si penyawer. Namun, cara pemberiannya yang dilakukan saat saweran itulah yang dipandang negatif oleh halayak umum. Saweran biasanya diberikan dengan cara diselipkan pada dada waranggana. Bisa pada bagian luar atau bahkan juga ada yang menyelipkannya lebih dari itu. Tentunya, pemberi saweran memiliki niat yang negatif terhadap para waranggono
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang memiliki rasa seni yang tinggi tidak akan pernah lepas dari apa yang namanya kebudayaan ataupun kesenian. Dalam hal ini bagi masyarakat Nganjuk, sebuah kabupaten kecil di Provinsi Jawa Timur yang masih banyak warganya memegang teguh kesenian mereka, yaitu kesenian tayub.
Kesenian tayub merupakan seni tari yang mempertontonkan lekak-lekuk tubuh penarinya. Bagi para gadis yang ingin menjadi waranggono, mereka harus melewati beberapa syarat dahulu sebelum mereka diwisuda. Barlah setelah di wisuda mereka akan mendapatkan surat izin untuk menjadi seorang waranggono.

Sejarah kapten Kasihin

Desa Kedungombo, Warujayeng dijadikan markas oleh Yon 22/Sriti Kompi II pada masa-masa perang kemerdekaan. Di bawah pimpinan Kapten Kasihin sebagai pimpinan Kompi II, desa ini memiliki arti strategis militer tersendi...ri jika dibandingkan dengan desa lain. Sebab secara geografis letak desa Kedungombo berada di tengah-tengah antara posisi pos-pos militer Belanda dan posisi kompi Yon 22/Sriti. Posisi desa lebih terlindung dan baik untuk pertahanan. Sehingga untuk kepentingan perhubungan dan koordinasi relatif lebih mudah dan cepat.

Desa Kedungombo menjadi daerah basis militer yang ada di sebelah barat sungai Brantas. Beberapa kesatuan lain seperti Seorti CPM, Yon 38 Resimen 34 Surabaya (Marinir), Barisan M, Barisan Rahasia (BARA), dan Batalyon Pancawati (tidak menetap) juga mehetapkan Kedungombo sebagai pusat strategi. Mereka menempati rumah-rumah penduduk setempat yang memungkinkan mereka tempati sebagai markas perjuangan.

Sementara Kapten Kasihin, Letnan Siswohandjojo dan Letnan Joesoef di rumah Bapak Poerwodiharjo Para pejabat pemerintahan Kabupaten Nganjuk ketika itu juga ada disana. Seperti Bupati Nganjuk Mr. Gondowardojo dan Patih Djojokoesoemo di rumah Bapak H. Nur. Wedana Anam di rumah Bapak Dipo dan Camat Afandi di Rumah Bapak Djojosoemarto.

Selama perang gerilya perbekalan sangat sulit untuk dikirim dari markas ke tempat perjuangan. Termasuk di desa Kedungombo juga tidak pernah dikirimi perbekalan. Oleh sebab itu semua kebutuhan dicukupi penduduk setempat, termasuk bahan makanan dan pakaian.

Sedangkan amunisi dan bahan peledak tetap dikirim dari kesatuan. Peran penduduk sangat menentukan dalam perjuangan bangsa. Mereka tidak hanya menyediakan tempat dan makanan, tetapi juga menjadi pelaku langsung dalam setiap perjuangan. Hal ini dibuktikan bahwa yang gugur dalam pertempuran di Kedungombo tidak hanya yang tercatat sebagai tentara resmi, tetapi juga penduduk sipil setempat.

Kira-kira pukul 09.00 WIB Kapten Kasihin bersama dengan pengawalnya yang bernama Susah berjalan dari selatan (Tawangrejo) menuju ke arah utara. Baru berjalan beberapa ratus meter mendapat laporan dari seorang mata-mata Republik, bahwa Belanda sudah berada di Balai Desa (berjarak lebih kurag 600 meter dari tempatnya). Mendapat laporan demikian Kasihin tidak menghiraukannya dan terus berjalan ke arah utara.

Beberapa menit kemudian terdengar beberapa kali tembakan di pertigaan gang utara SDN Kedungombo I dan ternyata Kapten Kasihin terkena tembakan. Walaupun sudah tertembak ia berusaha lari ke arah timur sejauh lebih kurang 1 km dan masuk ke dalam rumah seorang penduduk di Tawangsari (rumah Bapak Rasio). Di rumah ini Kapten Kasihin mendapat perawatan tuan rumah sekitar 30 menit, sebelum Belanda menemukannya. Belanda yang mengetahui ada orang tertembak terus mengejarnya dan akhirnya menemukan Kapten Kasihin diturunkan di lantai dan kemudian dibunuh di tempat itu juga, sekitar pukul 09.30 WIB.

Menurut penuturan Ibu Parmi (istri Rasio) yang waktu itu di rumah hanya bersama dua orang anaknya yang masih kecil (satu masih digendong), bahwa Kapten Kasihin sebelum diketemukan Belanda sempat minta minum. Saat akan diberi minum itulah Kasihin mengucapkan kata-kata yang terakhir …. .. : Nggih ngeten niki Bu lhae nglabuhi negeri. ….. (Ya begini inilah, Bu, membela negara).

Setelah dibunuh, Kapten Kasihin ditinggalkan begitu saja oleh Belanda (menurut Ibu Parmi ketika Belanda mengetahui bahwa yang dibunuh berpangkat Kapten, mereka kemudian hormat kepada jenazah Kapten Kasihin. Tanda kepangkatan dilepas dan dibawanya). Jenazah Kapten Kasihin kemudian oleh para pejuang bersama rakyat dibawa ke rumah Kepala Desa untuk diberi penghormatan dan setelah itu dimakamkan di makam Kedungombo di dekat makam Kopral Banggo yang sudah dulu gugur di Desa Josaren Kecamatan Tanjung Anom.

Untuk mengenang jasa Almarhum Kapten Kasihin, sekarang ini di alun-alun Kabupaten Nganjuk berdiri kokoh monumen Kapten Kasihin menghadap ke arah selatan Jl. Ahmad Yani.

Sabtu, 14 September 2013

DAERAH SUKOMORO NGANJUK PENGHASIL BAWANG MERAH

pernah main ke sukomoro nganjuk? Di daerah ini juga di kenal sebagai sentral bawang merah. Tidak di pungkiri juga sukomoro nganjuk merupakan daerah penghasil bawang merah ke dua setelah brebes jawa tengah. Setiap hari transaksi di pasar sukomoro seakan tak pernah sepi. Lebih lebih pada bulan juli sekarang ini. Hasil bumi seperti lombok (cabe) dan bawang merah (brambang) melimpah ruah. Tentu saja akan berpengaruh terhadap harga barang tersebut.Karena barang yang tersedia lebih banyak dari jumlah konsumen atau minat beli nya. Di sukomoro nganjuk sebagai penghasil bawang merah terdapat jenis bawang merah antara lain bauji, philipin, thailand, dll. Harga juga tergantung besar kecilnya bawang merah. Karena ada sentir, tanggung, dan super (gede). Untuk brambang gedengan atau iket, mungkin lebih mahal dari yang super walaupun bentuknya kecil. Karena bisa tahan lama cocok untuk oleh oleh di kampung.

Mayoritas pekerjaan atau kegiatan masyarakat di sukomoro nganjuk adalah petani dan pedagang bawang merah (brambang). Tak heran jika di sebut sentra bawang merah terbesar di jawa timur. Lokasi di utara jalan raya madiun - surabaya ataupun sebaliknya. Sering juga di buat ajang kampanye para pejabat ataupun sekedar mencari dukungan. Antara lain eko patrio, vita kdi, pak karwo, megawati dan lain lain. Biasanya bulan juni sampai november ramai transaksi jual beli karena tepat waktu panen raya. Dan harga tentunya lebih miring dari bulan sebelumnya.

Nah bagi anda yang kebetulan melewati nganjuk tidak ada salahnya mampir dan membeli bawang merah di sukomoro sekedar buat oleh oleh buat keluarga di rumah. Untuk bumbu masak ataupun di jual kembali.

sumber artikel dari http://arieftewe.mywapblog.com/daerah-penghasil-bawang-merah.xhtml

Senin, 10 Juni 2013

Pecel kerupuk besuk Mbok Nem Sukorejo

Pecel Krupuk Besuk , Sambalnya Asli Ditumbuk

Desa Sukorejo , Loceret tepatnya di Dusun Besuk ada sebuah warung yang menyediakan menu pecel istimewa dengan rasa sambal yang pedas dan menggigit lidah, Warung pecel milik Mbok Nem ini sudah buka sejak puluhan tahun lalu. Jenis pecelnya pun cukup bervariasi. Dari pecel sayur, pecel tahu dan pecel krupuk. Dari sekian menu pecel itu, pecel krupuk menjadi menu paling istimewa. Ya, makanan tradisional khas ini menjadi primadona yang banyak disukai pelanggan.

Keistimewaan pecel krupuk Mbok Nem ini terletak pada rasa sambal pecelnya. Rasa sambal pecelnya terasa cukup pedas dan menggigit lidah. Bagi penikmat pecel, sambal pecel buatan Mbok Nem ini termasuk dalam jajaran sambal yang layak untuk dinikmati. Memang, sambal pecel itu dibuat sendiri langsung oleh tangannya Mbok Nem dengan cara tradisional yakni dideplok (ditumbuk).

Warung pecel Mbok Nem yang menghadap ke timur ini memang sudah cukup kondang di Kabupaten Nganjuk. Dengan porsi yang tidak terlalu banyak tapi murah. Tapi bila Anda kehausan atau merasa kepedasan, segelas es rujak bisa mejadi penawar yang menyejukkan. Apalagi sejuknya angin menambah kian nyaman atmosfer warung ini.

Rumah Mbok Nem pun cukup strategis di tepi jalan yang menghubungkan Desa Tanjungrejo dengan Desa Sukorejo , Loceret . Tak heran, bila banyak pelanggan suka mampir di warung yang buka mulai jam 9 pagi ini. Tapi tampaknya, untuk mendapatkan sepiring pecel kupuk, para penikmat pecel harus rela antri. Saking ramainya, tak sampai jam 1 siang Mbok Nem harus membongkar kembali dagangannya.

Minggu, 19 Mei 2013

Candi Ngetos

Candi Ngetos adalah Candi Hindu yang berada di Ngetos, Nganjuk, Jawa Timur. Candi ini didirikan pada abad ke-15 pada zaman kerajaan Majapahit.

Letak Geografis dan Wujud Fisik

Candi Ngetos terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, sekitar 17 kilometer arah selatan kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk cincin.
Bangunan utama candi tersebut dari batu merah, sehingga akibatnya lebih cepat rusak. Atapnya diperkirakan terbuat dari kayu (sudah tidak ada bekasnya). Yang masih bisa dilihat tinggal bagian induk candi dengan ukuran sebagai berikut :
  • Panjang candi (9,1 m)
  • Tinggi Badan (5,43 m)
  • Tinggi keseluruhan (10 m)
  • Saubasemen (3,25 m)
  • Besar Tangga Luar (3,75 m)
  • Lebar Pintu Masuk (0,65 m)
  • Tinggi Undakan menuju Ruang Candi (2,47 m)
  • Ruang Dalam (2,4 m).

Relief

Relief pada Candi Ngetos terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura pada saubasemennya (alasnya) juga sudah tidak ada. Di bagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau menyerupai bentuk banji. Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedankan tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.
Di sebelah kanan dan kiri candi terdapat dua relung kecil yang di atasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai makara. Namun jika diperhatikan lebih seksama, ternyata suatu bentuk spiralhorisontal, melingkari tubuh candi bagian atas. besar yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan
Yang menarik, adalah motif kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Zaman Hindu. Umumnya, di Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.

 Arca Candi

Di Candi Ngetos sekarang ini tidak didapati lagi satu arcapun. Namun menurut penuturan beberapa penduduk yang dapat dipercaa, bahwa di dalam candi ini terdapat dua buah arca, paidon (tempat ludah) dan baki yang semuanya terbuat dari kuningan. Krom pernah mengatakan, bahwa di candi diketemukan sebuah arca Wisnu, yang kemudian disimpan di Kediri. Sedangkan yang lain tidak diketahui tempatnya. Meskipun demikian bisa dipastikan bahwa candi Ngetos bersifat Siwa-Wisnu, walaupun mungkin peranan arca Wisnu disini hanya sebagai arca pendamping. Sedangkan arca Siwa sebagai arca yang utama. Hal ini sama dengan arca Hari-Hara yang terdapat di Simping, Sumberjati yang berciri Wisnu.

Cerita Rakyat

Candi Ngetos, yang sekarang tinggal bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa raja Hayam Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap Gunung Wilis, yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan pada pamannya Raja Ngatas Angin, yaitu Raden Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden Bagus Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas Angin, kira-kira berjarak 15 km.
Diceritakan, bahwa Raden Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Konon ceritanya pula, di Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga mereka namakan Candi Tajum. Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi huruf “m” dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima. Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek, Kediri.
Selanjutnya diceritakan, bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin menugaskan Empu Sakti Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos. Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut dapat diselesaikan sesuai petunjuk.

Sabtu, 11 Mei 2013

Klenteng HOK YOE KIONG

Klenteng Hok Yoe Kiong merupakan klenteng untuk umat Tri Darma dan terletak pada kilometer 5 sebelum masuk kota Nganjuk, tepatnya Sukomoro, sebuah jalur penghubung antara Surabaya ke madiun ataupun sebaliknya. Di klenteng ini, selain sebagai tempat ibadah umat Tri Darma sehari-hari, juga selalu digunakan sebagai tempat berlangsungnya beberapa event penting yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan umat Tri Darma seperti Cap Go Meh atau perayaan hari raya Cina.
Nganjuk

Goa margo tresno


NganjukGoa Margo Tresno
Goa yang alam sekitarnya memiliki panorama pegunungan yang cukup indah dan sejuk ini terletak di desa sugihwaras, kec. ngluyu, kab. nganjuk.
Sejauh 650 meter sebelum masuk pintu goa terdapat kolam yang airnya begitu jernih. Luas goa ini kurang lebih 15 x 50 meter dan berhubungan dengan goa Lemah Jeblong. Di sekitar goa ini juga terdapat pula goa yang lain seperti, goa Gondhel, goa Bale, goa Pawon, goa Omah, goa Landak.

Dr. Soetomo

Dr. Soetomo (lahir di Ngepeh, Loceret, Nganjuk, Jawa Timur, 30 Juli 1888 – meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 30 Mei 1938 pada umur 49 tahun) adalah tokoh pendiri Budi Utomo, organisasi pergerakan yang pertama di Indonesia.
Pada tahun 1903, Soetomo menempuh pendidikan kedokteran di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Batavia. Bersama kawan-kawan dari STOVIA inilah Soetomo mendirikan perkumpulan yang bernama Budi Utomo, pada tahun 1908. Setelah lulus pada tahun 1911, ia bekerja sebagai dokter pemerintah di berbagai daerah di Jawa dan Sumatra. Pada tahun 1917, Soetomo menikah dengan seorang perawat Belanda. Pada tahun 1919 sampai 1923, Soetomo melanjutkan studi kedokteran di Belanda.
Pada tahun 1924, Soetomo mendirikan Indonesian Study Club (dalam bahasa Belanda Indonesische Studie Club atau Kelompok Studi Indonesia) di Surabaya, pada tahun 1930 mendirikan Partai Bangsa Indonesia dan pada tahun 1935 mendirikan Parindra (Partai Indonesia Raya).

Nasi Becek

Nasi becek adalah hidangan khas yang berasal dari Nganjuk, Jawa Timur, Indonesia. Di tempat asalnya hidangan ini dikenal dengan nama sego becek. Nasi Becek, hidangan khas dari Nganjuk, Jawa Timur
Sego becek adalah hidangan yang mirip dengan kari/kare kambing. Isi dari sego becek nyaris serupa dengan soto babat, namun diberi potongan sate kambing yang telah dilucuti dari tusuk satenya. Daging yang dipilih adalah daging kambing. Tidak lupa diberi potongan bawang merah yang menambah kenikmatan rasa hidangan ini.
Secara keseluruhan, rasanya mungkin cenderung mirip dengan mayoritas makanan sejenis yang berkembang di daerah Solo, Jawa Tengah. Cenderung manis dan tidak asin, berbeda dengan umumnya hidangan utama ala Jawa Timuran yang cenderung asin.
Saat tulisan ini dibuat, seporsi hidangan ini dijual seharga Rp 10.000. Cukup murah untuk ukuran makanan khas disana. Para penjual sego becek biasanya dapat dengan mudah di jumpai didaerah sekitar jalan Dr. Soetomo di kota Nganjuk.

Senin, 07 Januari 2013

Taman Anjuk ladang

Nganjuk Taman yang indah ini terletak di sekitar Stadion olahraga Anjuk Ladang hanya +/- 2 km arah selatan pusat kota Nganjuk. Merupakan taman yang rindang dan sejuk. Taman ini dilengkapi dengan fasilitas mainan anak seperti: Jogging track dan perkemahan dengan udara yang sejuk dan segar.
Taman Anjuk Ladang juga memiliki koleksi hewan dan para pengunjung dapat mengambil gambar dengan mereka, seperti; rusa, monyet, burung, dll. Taman Anjuk Ladang sering direkomendasikan sebagai taman rekreasi keluarga di Nganjuk dan sering digunakan sebagai kegiatan berkemah. Taman ini juga memiliki panggung untuk beberapa acara khusus, seperti; musik dan teater.

Candi Ngetos

Candi ini secara geografis terletak di Desa Ngetos, Kecamatan Ngetos, Kabupaten Nganjuk, ± 17 km ke arah selatan dari Kota Nganjuk. Bangunannya terletak ditepi jalan beraspal antara Kuncir dan Ngetos. Menurut para ahli, berdasarkan bentuknya candi ini dibuat pada abad XV (kelimabelas) yaitu pada zaman kerajaan (Majapahit). Dan menurut perkiraan, candi tersebut dibuat sebagai tempat pemakaman raja Hayam Wuruk dari Majapahit. Bangunan ini secara fisik sudah rusak, bahkan beberapa bagiannya sudah hilang, sehingga sukar sekali ditemukan bentuk aslinya.
Berdasarkan arca yang ditemukan di candi ini, yaitu berupa arca Siwa dan arca Wisnu, dapat dikatakan bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Kalau dikaitkan dengan agama yang dianut raja Hayam Wuruk, amatlah sesuai yaitu agama Siwa-Wisnu. Menurut seorang ahli (Hoepermas), bahwa didekat berdirinya candi ini pernah berdiri candi berukuran lebih kecil (sekitar 8 meter persegi), namun bentuk keduanya sama. N.J. Krom memperkirakan bahwa bangunan candi tersebut semula dikelilingi oleh tembok yang berbentuk bulat cincin.
Candi yang memiliki ukuran dengan panjang 9,1 m, dan tinggi 10 m, dibangun pada abad 15 (zaman Majapahit) atas perintah Raja Hayam Wuruk kepada pamannya Raja Ngatas Angin atau Raden Ngabei Siloparwoto dengan patihnya yang bernama Raden Bagus Condrogeni.
Candi ini dibangun untuk dipergunakan sebagai tempat penyimpanan abu jenazah Hayam Wuruk atau untuk pemakaman dirinya. Hayam wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos masih termasuk wilayah Majapahit yang menghadap gunung Wilis yang seakan-akan disamakan gunung Mahameru. *** [150812]


Museum Nasional

Awal berdirinya Museum Nasional diawali dengan berdirinya himpunan yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tanggal 24 April 1778. Pada masa itu di Eropa tengah terjadi revolusi intelektual (the Age of Enlightment), di mana orang mulai mengembangkan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. Tahun 1752 di Haarlem, Belanda berdiri de Hollandsche Maatschappij der Wetenschappen (perkumpulan ilmiah Belanda) yang mendorong orang-orang Belanda di Batavia (Indonesia) untuk mendirikan organisasi sejenis yaitu Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG).

Salah seorang pendiri BG adalah JCM Radermacher yang menyumbangkan rumahnya dan sejumlah koleksi benda budaya dan buku yang amat berguna. Sumbangan Radermacher ini merupakan cikal bakal berdirinya museum dan perpustakaan. Dengan adanya koleksi yang semakin bertambah menyebabkan Pemerintah Belanda membangun museum di lokasi sekarang ini yang telah dibuka secara resmi sejak tahun 1868.

Museum Nasional yang terletak di Jalan Merdeka Barat No. 12 Jakarta Pusat, sangat dikenal di kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan ‘Gedung Gajah’ atau ‘Museum Gajah’ karena di halaman depan museum terdapat patung gajah perunggu hadiah dari Raja Chulalongkorn (Rama V) dari Thailand yang berkunjung ke museum tahun 1871.
Koleksi Museum Nasional
Museum Nasional memiliki lebih dari 140.000 koleksi yang terdiri dari koleksi prasejarah, arkeologi, keramik asing, numismatic/heraldik, kolonial, etnografi dan geografi. Sebagian besar koleksi dikumpulkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang diperoleh melalui ekspedisi militer, ekspedisi ilmiah, hadiah, zending dan pembelian.

Museum Gajah banyak mengkoleksi benda-benda kuno dari seluruh Nusantara. Antara lain yang termasuk koleksi adalah arca-arca kuno, prasasti, benda-benda kuna lainnya dan barang-barang kerajinan. Koleksi-koleksi tersebut dikategorisasikan ke dalam etnografi, perunggu, prasejarah, keramik, tekstil, numismatik, relik sejarah, dan benda berharga.
Sebelum gedung Perpustakaan Nasional RI yang terletak di Jalan Salemba 27, Jakarta Pusat  didirikan, koleksi Museum Gajah termasuk naskah-naskah manuskrip  kuno. Naskah-naskah tersebut dan koleksi perpustakaan Museum Gajah kini disimpan di Perpustakaan Nasional.
Koleksi keramik dan koleksi etnografi Indonesia di museum ini terbanyak dan terlengkap di dunia. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

Koleksi yang menarik adalah Patung Bhairawa patung yang tertinggi di Museum Nasional dengan tinggi 414 cm ini merupakan manifestasi dari Dewa Lokeswara atau Awalokiteswara, yang merupakan perwujudan Boddhisatwa (pancaran Buddha) di bumi. Patung ini berupa laki-laki berdiri diatas mayat dan deretan tengkorak serta memegang cangkir dari tengkorak di tangan kiri dan keris pendek dengan gaya Arab ditangan kanannya, ditemukan di Padang Roco, Sumatera Barat. Diperkirakan patung ini berasal dari abad ke 13-14. Koleksi arca Buddha tertua di Museum ini berupa arca Buddha Dipangkara yang terbuat dari perunggu, disimpan dalam ruang perunggu dalam kotak kaca tersendiri, berbeda nasibnya dengan arca Buddha, arca Hindu tertua di Nusantara, yaitu Wisnu Cibuaya (sekitar 4M) terletak di ruang arca batu tanpa teks label dan terhalang oleh arca Ganesha dari candi Banon.
Ruang Pameran
Ruang pameran di Museum Nasional terdiri dari dua bagian yaitu ruang pameran di Gedung Gajah yang masih mempertahankan sistem penataan pada masa Kolonial, sementara di Gedung Arca yang merupakan gedung baru dengan sistem penataan yang tematik untuk memperlihatkan kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh.
Ruang pameran di Gedung Arca terdiri dari empat lantai. Lantai 1 dipamerkan manusia dan lingkungan, lantai 2 dipamerkan ilmu pengetahuan dan ekonomi, lantai 3 dipamerkan organisasi sosial dan pola pemukiman, dan lantai 4 dipamerkan koleksi emas serta keramik asing. *** 

sumber:  http://kekunaan.blogspot.com/2012/07/museum-nasional.html

Museum Anjuk Ladang

Museum Anjuk Ladang berada di Jalan Gatot Subroto, Nganjuk atau bersebelahan dengan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari terminal Nganjuk ± 100 m ke arah timur. Bangunan museum ini dibangun di atas lahan seluas 2.633,44 m² dengan satu lantai. Luas keseluruhan bangunan adalah 4 tempat 351,05 m2 untuk publik dan 2 lokasi = 63 m2 untuk non publik. Bangunan ini didirikan sejak tahun 1995 namun baru difungsikan sebagai museum sejak 10 April 1996. Sejak awal berdiri memang difungsikan sebagai museum dengan status kepemilikan tanah milik pemerintah daerah. Museum ini terbagi menjadi beberapa bagian bangunan. Bagian depan berbentuk joglo tempat menyimpan prasasti Anjuk Ladang dan kereta kencana, bangunan induk sebagai tempat penyimpanan guci, uang logam kuno, wayang kulit, gerabah, keramik, genta, dan lain-lain. Sedangkan, bangunan belakang kecil dan digunakan untuk sekretariat museum, bangsal keamanan dan kamar mandi / toilet. ***

Rabu, 02 Januari 2013

Tari mung dhe

Mung dhe merupakan salah satu seni tari yang berasal dari Desa Garu Kecamatan Baron Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Kelahiran kesenian Mung Dhe terkait erat dengan ontran-ontran di Jawa Tengah pada awal abad ke-19, yakni terjadinya peperangan Diponegoro (1923-1930). Perjuangan Pangeran Diponegoro melawan bangsa kolonial di Jawa Tengah waktu itu mendapat kegagalan. Pengikut Diponegoro tercerai-berai dan tersebar di Jawa Tengah hingga Jawa Timur.
Setelah kalah perang, para prajurit Diponegoro terpencar , ibaratnya sebagai buronan, mereka selalu diawasi oleh Belanda. Para prajurit yang masih tersisa berupaya menyusun kekuatan. Namun upaya itu tidak berani secara terang-terangan melainkan melalui penyamaran, yaitu dengan berpura-pura menari dan mengamen keliling.
Penciptaan kesenian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan prajurit Diponegoro yang tersebar di berbagai daerah. Cara seperti ini mereka tempuh untuk mengelabui Belanda yang selalu mengikuti dan mengintai ke mana sisa-sisa prajurit Diponegoro berada. Penyamaran mereka ternyata tidak diendus oleh Belanda. Belanda tidak mengetahui kalau para anggota kesenian Mung Dhe adalah prajurit yang sedang berlatih baris-berbaris dan latihan perang. Pimpinan prajurit menyamar dengan menggunakan topeng untuk menutup wajahnya sambil memainkan gerakan-gerakan lucu sebagai Penthul dan Tembem.
Untuk mengumpulkan, sang ketua atau sang komandan memukul instrumen gamelan yang disebut dengan penitir dan yang menghasilkan bunyi mung, dipukul sebanyak tiga kali. Ketentuannya, mung pertama sebagai tanda persiapan, mung kedua tanda berkumpul, dan mung ketiga mulai bermain sedangkan bunyi dhe dihasilkan dari alat pengereng (pengiring) yang bernama Bendhe (kempul kecil). Kesenian ini kemudian keliling dan mengamen dari satu tempat ke tempat lainnya. Tak ayal, kesenian ini kemudian menjadi tontonan rakyat yang digemari dan berkembang dengan pesat.
Tari mung Dhe bertemakan kepahlawanan dan cinta tanah air , heroik patriotisme, sehingga gerakan tari di ambilkan dari gerakan keprajuritan dan bela diri (silat). Pada dasarnya, cerita tari mung dhe menggambarkan tari prajurit yang sedang berlatih perang yang lengkap dengan orang yang membantu dan memberi semangat kepada kedua belah pihak yang sedang latihan . Pihak yang membantu dan memberi semangat , di sebut botoh . Botohnya ada dua ,yaitu penthul untuk pihak yang menang dan tembem untuk pihak yang kalah.

Mung Mung Dhe
Kesenian ini disebut mung dhe atau mongdhe berawal dari paduan bunyi dua alat musik tradisional yang mengiringinya. Alat musik pengiring itu adalah penitir, semacam kempul yang berbunyi “mung”, dan bendhe, semacam kempul yang berbunyi “dhe”. Dari perpaduan bunyi itulah, masyarakat menyebut kesenian itu mongde. Tetapi, dari literatur yang ada, masyarakat lebih suka menuliskannya dengan Mung Dhe. Selain kedua alat tersebut, alat musik pengirin lainnya adalah jur semacam tambur, kempyang atau kencer,timplung, kendang, dan stling.
Pada awalnya, kesenian ini melibatkan 14 pemain dengan peran masing-masing. Dua orang prajurit, dua orang pembawa bendera, dua orang botoh, dan delapan orang pemain dan pengiring. Namun, pada perkembangannya Seni Mongde tidak lagi melibatkan 14 orang, tapi hanya 12 pemain. “Pengurangan dua pemain itu disesuaikan dengan jumlah alat musik pengiring.
Ketika mengabtraksikan sebuah lakon, kesenian ini tidak memerlukan ragam gerak yang banyak. Seni keprajuritan ini hanya memiliki delapan gerak. “Jadi, walaupun dipentaskan dalam durasi yang lama, para pemain hanya akan melakukan gerakan tertentu saja yang diulang-ulang.
Delapan gerak itu, menggambarkan kegiatan prajurit yang sedang berlatih pedang. Ada gerak jalan berpedang, yaitu jalan dengan pedang diputar-putar di depan dada, sementara tangan kiri di pinggang atau malang kerik dalam istilah Jawa. Ada gerak maju muncur, yakni gerakan seperti jalan berpedang dengan gerakan maju mundur. Gerakan berikutnya tampak lebih garang, seperti gontokan, perangan lombo rangkep, perangan rangkep, dan perang berhadapan, dan srampangan. Gerak gontokan menggambarkan adu kekuatan di tempat sambil saling merapatkan bahu kanan-kiri dengan pedang. Perang lombo rangkep melukiskan gerak pedang ditepiskan pada tanah kemudian saling serang mulai tempo lambat hingga kian cepat (lombo rangkep).
Gerak perang rangkep mempertontonkan gerak prajurit yang saling berhadapan untuk adu kekuatan pedang sambil saling serang maju-mundur. Gerak perang berhadap menunjukkan prajurit adu pedang atas-bawah secara cepat, lalu pedang ditepiskan pada tanah diadu. Dan gerak srampangan melukiskan penari saling menyerang dengan melemparkan pedang pada kaki lawan secara bergantian dan saling menangkis. Tangkisan yang pertama di atas kepala dan yang kedua di depan dada. Diantara semua gerak itu, ada gerak yang tak pernah ditinggalkan, yaitu kirapan. Kirapan adalah gerak jalan berbaris sambail diiringi musik Mongde. Gerak ini menggambarkan kebersamaan. Prajurit yang hendak menuju atau sedang perang harus dalam satu barisan, tidak boleh cerai-berai.

Penthul & Tembem
Hal unik pada kesenian Mongde diantaranya terletak pada tata rias wajah dan busana para pemainnya. Tata rias itu menggambarkan seorang prajurit bangsawan yang gagah. Kegagahan itu dibentuk dengan penambahan atau mempertebal bagian tertentu pada wajah, seperti alis mata, kumis, godhek dan jawas. Tetapi untuk peran botoh yaitu Penthul memakai topeng warna putih, sedangkan Tembem menggunakan topeng warna hitam,” lanjutnya.
Tata busana para pemain, pada dasarnya sama menggunakan busana seorang prajurit. Bedanya, pada masing-masing peran. Warna kostum banyak didominasi oleh perpaduan warna hitam, merah, dan putih. Namun, pada saat ini, kostum yang dipakai para pemain sudah banyak mengalami perubahan.
Busana asli seorang prajurit, misalnya, adalah irah-irahan merah agak tinggi, samping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, keris selendang merah, stagen hitan, epek timang, berkain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam. Sekarang, prajurit memakai blangkon hitam bervariasi kuning keemasan dengan diikat udheng gilig (merah-putih), kace merah, selendang merah, baju putih, memakai keris, stagen hitam, sampur merah dan putih, jarit parang kuning dan celana panji hitam.
Busana pembawa bendera juga demikian. Busana aslinya memakai irah-irah merah agak pendek dengan variasi kuning keemasan, sumping, kace berwarna merah, baju putih, memakai klat bahu, selempang merah, stagen hitam, epek hitam, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Namun kini, busananya sama dengan busana baru prajurit. Bedanya, tidak memakai sampur merah dan putih.
Busana pembawa bendera seperti ini sama dengan busana baru para pengiring. Padahal, busana asli pengiring memakai udheng cadhung hitam yang diikat udheng gilig merah putih, kace berwarna merah, baju putih, keris, selempang merah, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih, dan celana panji hitam.
Busana pemeran botoh, yaitu Penthul dan Tembem, lebih kompleks lagi. Busana asli pemeran Penthul memakai udheng cadhung hitam dengan diikat udheng gilig merah putih, kace merah, sampur merah dikalungkan pada leher, baju lengan panjang putih, keris, stagen hitam, epek timang, kain kuning, jarit parang putih dan celana panjang putih. Nyaris sama dengan busana asli Tembem kecuali topngnya hitam dan dan tidak memakai keris, serta celana panjangnya berwarna hitam.
Busana asli itu kini berubah menjadi seperti busana baru pembawa bendera. Hanya, busana Penthul ada tambahan topeng warna putih dan sampur putih yang dikalungkan pada leher. Sementara Tembem memakai blangkon ikan kepala warna merah putih, topeng hitam, sampur hijau dikalungkan pada leher, baju lengan panjang hitam, dan celana kombor hitam.
Begitu detilnya kostum dan tata rias pemain kesenian Mongde, karena jenis kostum itu menggambarkan nilai-nilai luhur. Bagi mereka yang berperan kalah memakai kace hitam, sampur hijau, dan topeng hitam. Sementara pihak yang menang memakai maca merah, sampur putih, dan topeng putih. Hal tersebut mengisyaratkan, kejahatan yang dilambangkan dengan hitam akan kalah pada akhirnya melawan kebaikan dengan lambang putih.

Sempat Tenggelam
Menelusuri perkembangan seni khas Nganjuk ini tak beda dengan kesenian tradisi di berbagai daerah lainnya. Untuk waktu yang lama, kesenian ini pernah tenggelam dan kalah pamor dengan kesenian populer. Beruntung pada 1982 dilakukan penggalian kembali dari daerah asalnya. Setelah ditemukan, oleh penggiat seni di SDN Garu II, Kecamatan Baron, kesenian ini dipelajari dan dikembangkan. Dari SDN inilah Seni Mongde mulai dikenal oleh masyarakat luas di Kabupaten Nganjuk.
Seiring waktu, pada tahun 1985, atas prakarsa Bupati Ngajuk (waktu itu dijabat Drs. Ibnu Salam), dikumpulkanlah para tokoh seni tari Nganjuk dan seniman dari Yogyakarta. Mereka diminta untuk mengadakan pembaruan seperlunya tanpa mengurangi keasliannya. Akhirnya ditemukanlah gerak tari yang enak ditonton dan sekarang digemari dan sudah dikenal masyarakat luas.